Blog
Sekolah Darurat dan Harapan Baru
- 14 Februari 2022
- Posted by: Dr. Iqbal Fahri, M.Pd.
- Category: Artikel
Bencana alam tidak hanya berdampak buruk terhadap infrastruktur fisik dan struktur sosial-ekonomi masyarakat, namun mempertinggi pula jumlah penyandang disabilitas fisik, mental, dan intelektual termasuk anak-anak usia sekolah. Adagium pendidikan harus tetap berlanjut apapun kondisinya, memperkuat pemahaman bahwa pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun mentalitas, harapan baru, dan masa depan yang lebih baik agar terlepas dari pelbagai bentuk keterpurukan. Keterpurukan yang diakibatkan bencana alam memerlukan dukungan pendidikan agar upaya rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur selaras dengan penguatan mentalitas korban bencana dalam meraih kesejahteraan di masa mendatang.
Hingga saat ini, sekolah darurat yang didirikan pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat pasca bencana alam, kerap kali menitikberatkan trauma healing dan aktivitas menghibur sebagai panasea peristiwa traumatis bagi anak usia sekolah. Upaya ini perlu dikaji ulang, mengingat tantangan yang dihadapi korban bencana sangat kompleks dan beragam. Diantaranya ada yang mengalami trauma, ketidakberfungsian salah satu organ fisik atau lebih, cedera otak akibat terjatuh maupun terbentur, bahkan ada pula yang berdampak buruk pada berbagai aspek baik fisik, mental, dan intelektual.
Kondisi ini semakin diperparah dengan penolakan diri dan keluarga atas disabilitas yang kini disandangnya sebagai fase awal dan terberat bagi penyandang disabilitas baru. Terlebih lagi, bila anak tersebut merupakan harapan keluarga satu-satunya yang kelak dapat merubah nasib keluarga menjadi lebih baik. Oleh karena itu, sekolah darurat seyogyanya mampu mengakomodasi intervensi beragam yang diperlukan bagi anak penyandang disabilitas baru dampak korban bencana. Dalam waktu yang bersamaan, juga mewujudkan dukungan sosial yang kolaboratif sehingga membangun harapan baru.
Prioritas Pendidikan
Sekolah darurat yang membangun harapan baru memerlukan sumber daya dan pendampingan transdisipliner melalui proses integratif para relawan/guru, tim medis, psikolog, dan terapis dalam menghadapi kompleksitas permasalahan. Hal ini penting guna percepatan pemulihan mental, fisik, dan intelektual anak penyandang disabilitas baru agar dapat bersekolah di sekolah daruratnya. Selain itu, pemenuhan alat bantu yang mempermudah aksesibilitas menuju sekolah darurat dan aktivitas belajarnya sedapat mungkin menjadi satu kesatuan dalam penyelenggaraan sekolah darurat.
Perlu digarisbawahi, pendidikan yang merata dan pemenuhan hak belajar bagi penyandang disabilitas dalam keadaan darurat sekalipun tetap harus ada dan terpenuhi. Membiarkan anak penyandang disabilitas baru di posko pengungsian dan minimnya upaya menghadirkan mereka di sekolah darurat, dapat menambah kesedihan yang kontraproduktif dalam pemulihan mentalnya. Dalam konteks inilah pendidikan inklusif menjadi prioritas dan solusi komprehensif dalam penyelenggaraan sekolah darurat pasca bencana alam.
Seiring dengan rampungnya proses rekonstruksi pasca bencana, status sekolah darurat bisa saja dicabut. Namun dampak buruk pada korban bencana yang mengakibatkan disabilitas tidak selalu berbanding lurus dengan rampungnya proses rekonstruksi infrastruktur, bahkan tetap melekat sepanjang hayatnya. Anak penyandang disabilitas baru memerlukan pendidikan yang memenuhi kebutuhannya dan intervensi transdisipliner dari berbagai pihak secara berkelanjutan untuk kesejahteraannya di masa depan. Dengan demikian, penguatan pendidikan inklusif pasca bencana menjadi keharusan dan merupakan keniscayaan.
Tanggung Jawab Siapa?
Memberikan dukungan penuh bagi anak penyandang disabilitas baru dampak korban bencana merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerjasama seraya memberikan perhatian serius terkait pemetaan anak penyandang disabilitas baru dampak korban bencana. Pemetaan ini dapat diintegrasikan dalam tugas pokok Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai garda terdepan penanganan korban bencana. Hasil pemetaan menjadi bahan pelaporan kepada pihak terkait sekaligus menyinergikan dukungan pemulihan fisik, mental, dan intelektual yang diperlukan.
Sinergi yang dihasilkan sekurang-kurangnya melahirkan dukungan yang relevan dan sistem monitoring berkala sehingga kemajuan pemulihan dapat terpantau, terukur, dan secara bertahap mencapai tingkat kemandirian. Langkah strategis ini perlu dilakukan agar anak penyandang disabilitas baru ini kelak dapat berkontribusi sebagai bagian penting dari bonus demografi Indonesia pada tahun 2030-2040, dan bukan berbalik menjadi beban demografi.
Guna memastikan dukungan secara transdisipliner berjangka panjang, sinergi antar kementerian terkait terutama Kemendikbudristek, Kemensos, Kemenkes, dan Pemerintah Daerah perlu didorong dan diperkuat melalui Komisi Nasional Disabilitas, dukungan masyarakat, dan pengawasan melekat lembaga swadaya masyarakat yang memusatkan perjuangan menuju kesejahteraan penyandang disabilitas.
Dengan demikian sekolah darurat merupakan jalan terjal yang memerlukan penguatan prioritas pendidikan inklusif dan dukungan kolaboratif seluruh pihak dalam waktu panjang, tidak semata-mata bermakna pemulihan traumatis sesaat dan interaksi sosial yang menghibur saja. Bila hal ini dilakukan secara serius dan berkelanjutan, sekolah darurat dapat berkontribusi besar dalam membangun harapan baru bagi seluruh anak usia sekolah dampak korban bencana, termasuk anak penyandang disabilitas baru. Pada akhirnya, upaya komprehensif ini berujung pada peningkatan kesejahteraan anak korban bencana serta meningkatkan indeks kebahagiaan bangsa Indonesia menuju Indonesia yang lebih inklusif.